[1x04-072012]-Kiai Syamsuri Brabo dan Kitabnya
Tahun 1960, lantai masjid
Al-Muhajirin di Pesantren Sirojuth Tholibin, Brabo, Tanggung Harjo, Grobogan,
Jawa Tengah, rusak berat. Pengasuh pesantren, Kiai Syamsuri, risau karena
masjid tersebut pusat syiar Islam. Di sanalah santri dan warga masyarakat
berkumpul, untuk sembahyang, ngaji, rapat desa dan sebagainya.
Suatu hari, sang kiai
mengutarakan kerisauannya di depan santri dan masyarakat. Intinya, beliau
menyampaikan bahwa lantai masjid harus segera diperbaiki dan beliau ingin kayu
milik Masjid Desa Jragung Demak lama menjadi pengganti lantai masjidnya. Dana
terkumpul dari iuran santri dan jariyah warga Desa Brabo. Tetapi belum cukup.
Akhirnya Kiai Syamsuri ambil
“jalan pintas”, yakni menjual kitab Syarah Bukhari setebal 12 jilid kepada
Anwar, kala itu pemilik toko Toha Putera di Semarang. Namun, sang kiai
berkata kepada Anwar bahwa kitab ini jangan dijual dulu kepada orang lain,
karena suatu saat, dirinya akan datang membeli kembali Syarah Bukhari
kesayangannya ini.
Beberapa waktu kemudian, Anwar
dikunjungi Kiai Hamid Kajoran Magelang. Seperti biasanya rumah pemilik toko
kitab, ada kitab-kitab aneka macam yang tertata rapi. Kiai Hamid pun biasa
melihatnya. Tetapi hari itu, mata Kiai Hamid tampak terpesona dengan setumpuk
kitab teronggok. Tak lain, kitab itu Syarah Bukhari milik Anwar yang dibeli
dari Kiai Syamsuri. Kiai Hamid tambah tertarik dengan kitab itu, karena setelah
dibuka semuanya telah diberi makna dengan rapi dan bagus.
“Kang Anwar, buatku saja ya
kitab ini,” begitu kira-kira Kiai Hamid meminta. Karena yang meminta Kiai
Hamid, maka kitab tadi diberikan secara cuma-cuma.
Lain waktu, Kiai Hamid Kajoran
dikunjungi kiai muda bernama A. Baidhowi. Kedua kiai ini akrab, hangat, dan
saling menghormati. Karena lama tidak berjumpa, Kiai Hamid meminta tamunya
menginap.
Dalam perbincangannya, Kiai
Hamid cerita, “Gus Dhowi, aku punya kitab.”
“Kitab napa, Kiai.”
“Syarah Bukhari. Aku minta dari
Toha Putra. Tetapi, kitab itu akan saya hadiahkan untuk Sampeyan.”
“Waduh, matur suwun, Kiai.”
Tetapi Kiai Hamid tidak memberi
secara cuma-cuma. Ia meminta mahar dari Kiai Baidhowi. Malamnya, tuan rumah
mempersilakan sang tamu untuk istirahat di kamar pribadinya, di lantai dua.
Namun penghormatan Kiai Hamid malah bikin tamunya tidak bisa tidur. Kiai
Baidhowi merasa rikuh, di kamar bawah ada kiai yang dihormatinya. Paginya, Kiai
Hamid mengutarakan mahar keinginannya. Kiai Baidhowi, demi kitab yang disenanginya,
menyanggupi mahar.
“Mahar pertama, doakanlah semua
anak keturunanku suka dengan tamu,” kata Kiai Hamid mulai menyebutkan
keinginannya. “Mahar kedua, doakan semua anak cucuku bisa haji,” lanjutnya. “Mahar
terakhir,” kata Kiai Hamid, “doakan anak cucuku suka mengaji.”
Dengan rikuh dan keterkejutan
yang masih tersimpan, Kiai Baidhowi yang masih muda berdoa di hadapan Kiai
Hamid yang lebih sepuh dan sangat dihormatinya itu. Setelah semuannya selesai,
sang tamu pamitan. Kemudian, Kiai Baqoh Arifin, putra Kiai Hamid,
mengantarkan tamunya sampai terminal Magelang, atas perintah ayahandanya.
Diceritakan, dalam perjalanan
kitab Syarah Bukhari sempat jatuh. Sesampainya di kediamannya, Pesantren
Sirojuth-Tholibin, Brabo, Kiai Baidhowi langsung menemui ayahandanya, Kiai
Syamsuri, memberikan kitab yang dikasih Kiai Hamid. Kiai Syamsuri kaget,
ternyata kitab itu adalah kitab yang dulu dijual kepada Anwar. Sambil menangis,
ia langsung memeluk kitab tadi. Lalu memeluk Kiai Badhowi, yang tak lain adalah
putranya sendiri.
Sang anak bingung, “Wonten napa,
Pak?”
***
Kiai Syamsuri lahir pada
tanggal 21 April 1906, di Desa Tlogogedong Kecamatan Karangawen, Kabupaten
Demak, Jawa Tengah. Bapaknya bernama KH. Dahlan bin Nolo Khoiron, imam dan
pemuka agama di desanya. Kakek Syamsuri adalah lurah di Sambak Wonosekar,
Demak.
Kehadiran Syamsuri muda di
Brabo bermula dari permintaan dua tokoh agama di Brabo Mbah Idris dan Mbah
Hasan Hudori, kepada Kiai Syarqowi Tanggung Tanggungharjo. Keduanya meminta
kepada Kyai Sarqowi agar “menanamkan” santrinya di desa Brabo. Kyai Syarqowi
menunjuk santrinya yang bernama Syamsuri, yang tak lain menantunya, untuk
mengabdi dan mengembangkan Islam di Brabo.
Kiai Syamsuri berdakwa dengan
pelan-pelan. Pengajian bandongan kecil-kecilan digelar di serambi masjid.
Sembari mengetahui seluk beluk warga Brabo, ia berkunjung ke rumah warga. Sifat
sabar dan keuletannya, Kiai Syamsuri berhasil mendapat simpati masyarakat
Brabo. Akhirnya, jangkauan pengajiannya hingga ke luar desa, dan jama’ah pengajian
di serambi masjid makin ramai.
Melihat makin bertambahnya
santri, masyarakat mengusulkan untuk mendirikan pesantren. Berdirilah pondok
pesantren, dengan nama Sirojuth Tholibin, tahun 1941. Nama pesantren, selain
bermakna lentera penerang para penuntut ilmu, juga dalam rangka “menempelkan
kitab” bernama Sirojuth Tholibin karya Syekh Muhammad Ihsan Jampes Kediri.
Istilahnya, tabarukan. Kitab Sirajuth Thalibin adalah syarah atas kitab
Minhajul ‘Abidin karya Imam Al-Ghozali.
Syamsuri suka belajar agama.
Syamsuri kecil sudah ngaji akidah, fiqih, Al-Qur’an. Guru pertamanya
ayahnya sendiri, KH Dahlan. Selanjutnya, ia belajar kepada KH Abdur Rohman
di Tlogogedong Demak Jawa Tengah. Ia juga belajar kepada Kiai Irsyad Gablog dan
nyantri di Mangkang serta KH Hasyim Asy’ari di Tebuireng.
Syamsuri muda pernah belajar
ngaji Shahih Bukhari dan Shahih Muslim kepada Kiai Hasan Asy’ari di Poncol
Bringin Salatiga. Tempat lain yang pernah disinggahi Syamsuri untuk belajar
adalah Pesantren Tegalsari, Bringin Salatiga, asuhan Kiai Tholhah.
Di antara ulama yang seangkatan
dengan Kiai Syamsuri adalah KH. Muslih Mranggen Demak. Bahkan, keduanya
sama-sama alumni Pondok Tanggung, dibawah asuhan Kiai Syarqowi. Ada sebuah
kisah tentang Kiai Syamsuri dan Kiai Muslih. Kiai Muslih pernah meminjam kitab
Shahih Bukhari kepada Kiai Syamsuri. Lalu, Kiai Syamsuri meminjamkan kitab
tersebut dengan mengutus muridnya, Shobari, untuk membawanya ke Mranggen. Konon
Shobari membawa kitab tadi dengan dipikul memakai kayu.
Tokoh lain yang seangkatan
adalah KH. Arwani Kudus (hubungan dalam thariqoh), KH. Shodaqoh, ayah dari KH.
Haris Shodaqoh, pengasuh PP. Al Itqon Gugen Semarang, KH. Nawawi Bringin Salatiga,
dan KH. Ihsan Brumbung Mranggen Demak.
Dalam hal tarekat, Kiai
Syamsuri mengambil sanad dari Kiai Syarqowi, tepatnya tarekat Naqsabandiyah
Kholidiyyah. Namun ia tidak diangkat menjadi mursyid, meski kadang
ditunjuk sebagai badal. Sebab, Kiai Syamsuri diarahkan untuk lebih
berkonsentrasi pada pendidikan santri di pesantren.
Kiai Syamsuri berpulang ke
Rahmatullah, ba’da maghrib, malam Rabu, 23 Shofar, bertepatan dengan 4 Oktober
1988. (Ditulis ulang oleh Hamzah Sahal dari dan atas seizin www.sirojuth-tholibin.net)
Sumber:
Saya ubah
sedikit untuk kesempurnaan tata bahasa sesuai EYD, semoga tidak mengubah maksud
sedikitpun. Jika masih ada kesalahan ejaan, mohon hubungi saya.
Keyword:
biografi ulama Indonesia, kisah ulama Indonesia, biografi kyai, biografi kiai,
kisah kiai, kisah kyai, pondok pesantren sirojuth tholibin, pondok pesantren
brabo, kisah kiai nu, kisah ulama nu, pengasuh pesantren sirojuth tholibin,
pengasuh pesantren brabo, pondok pesantren grobogan,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar