[1x03-072012]-Hukum Mengamalkan Hadits Dhoif
Gambar 1 Scan Kitab Al Adzkar karya Imam Nawawi Fashal Mengamalkan Hadits Dhoif |
=====================================================================
Lihat scan kitab “Al-Adzkar” karya Imam Nawawi, cetakan pertama “Maktabah Tijariyah al-Kubra” tahun 1356 H / 1938 M halaman 7 di atas..
Terjemahnya: “Para ulama hadits dan fiqih serta ulama lainnya berkata: Diperbolehkan bahkan disunnahkan mengamalkan hadits dha’if dalam keutamaan beramal, baik berupa anjuran maupun larangan selama hadits itu bukan hadits maudhu“
=====================================================================
Hadits merupakan salah satu sumber hukum Islam, yang fungsinya menjelaskan, mengukuhkan dan ‘melengkapi’ firman Allah Ta’aala yang terdapat dalam Al-Qur’an. Di antara berbagai macam hadits, ada istilah Hadits Dha’if.
Lihat scan kitab “Al-Adzkar” karya Imam Nawawi, cetakan pertama “Maktabah Tijariyah al-Kubra” tahun 1356 H / 1938 M halaman 7 di atas..
Terjemahnya: “Para ulama hadits dan fiqih serta ulama lainnya berkata: Diperbolehkan bahkan disunnahkan mengamalkan hadits dha’if dalam keutamaan beramal, baik berupa anjuran maupun larangan selama hadits itu bukan hadits maudhu“
=====================================================================
Hadits merupakan salah satu sumber hukum Islam, yang fungsinya menjelaskan, mengukuhkan dan ‘melengkapi’ firman Allah Ta’aala yang terdapat dalam Al-Qur’an. Di antara berbagai macam hadits, ada istilah Hadits Dha’if.
Dalam pengamalannya, terjadi perbedaan
pendapat di kalangan ulama. Sebagian kalangan ada yang tidak membenarkan
untuk mengamalkan Hadts Dha’if. Bahkan ada yang mengatakan bahwa Hadits
tersebut bukan dari Nabi Muhammad Shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Lalu
apakah sebenarnya yang disebut Hadits Dha’if itu? Benarkah kita tidak
boleh mengamalkan Hadits Dha’if?
Secara umum Hadits terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu:
1. Hadits Shahih, yaitu hadits
yang diriwayatkan oleh orang yang adil, punya daya ingatan yang kuat,
mempunyai sanad (mata rantai orang-orang yang meriwayatkan hadits) yang
bersambung ke Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam, tidak memiliki
kekurangan serta tidak syadz (menyalahi aturan umum). Para
ulama sepakat bahwa hadits ini dapat dijadikan dalil, baik dalam masalah
hukum, aqidah dan lainnya.
2. Hadits Hasan, yakni hadits yang
tingkatannya berada di bawah Hadits Shahih, karena para periwayat hadits
ini memiliki kualitas yang lebih rendah dari para perawi Hadits Shahih.
Hadits ini dapat dijadikan sebagai dalil sebagaimana Hadits Shahih.
3. Hadits Dha’if, yakni hadits yang bukan Shahih dan juga bukan Hasan, karena diriwayatkan oleh orang-orang yang tidak memenuhi persyaratan sebagai perawi hadits, atau para perawinya tidak mencapai tingkatan sebagai perawi Hadits Hasan.
Hadits Dha’if ini terbagi menjadi dua.
Pertama, ada riwayat lain yang dapat menghilangkan dari ke-dha’if-annya.
Hadits semacam ini disebut Hadits Hasan li Ghairih, sehingga
dapat diamalkan serta boleh dijadikan sebagai dalil syar’i. Kedua,
hadits yang tetap dalam ke-dha’if-annya. Hal ini terjadi karena tidak
ada riwayat lain yang menguatkan, atau karena para perawi hadits yang
lain itu termasuk orang yang dicurigai sebagai pendusta, tidak kuat
hafalannya atau fasiq.
Yang kedua ini, para
ulama mengatakan bahwa Hadits Dha’if hanya dapat diberlakukan dalam fada’ilul
a’mal (keutamaan beramal), yakni setiap ketentuan yang tidak
berhubungan dengan akidah, tafsir atau hukum, yakni hadits-hadits yang
menjelaskan tentang targhib wa tarhib (janji-janji dan ancaman
Allah Ta’ala), sebagaimana keterangan dlm scan kitab Al-Adzkar di atas.
Bahkan ada sebagian ulama yang
mengatakan bahwa telah terjadi ijma’ di kalangan ulama tentang kebolehan
mengamalkan Hadits Dha’if jika berkaitan dengan fadha’ilul a’mal ini.
Sedangkan dalam masalah hukum, tafsir ayat Al-Qur’ an, serta akidah,
maka apa yang termaktub dalam hadits tersebut tidak dapat dijadikan
pedoman. Sebagaimana yang di singgung oleh Sayyid ‘Alawi al-Maliki dalam
kitabnya Majmu’ Fatawi wa Rasa’il:
“Para ulama ahli Hadits dan lainnya
sepakat bahwa Hadits Dha’if dapat dijadikan sebagai pedoman dalam
masalah fadha’il al-a’mal. Di antara ulama yang mengatakannya
adalah Imam Ahmad bin Hanbal, Ibn Mubarak, dan Sufyan, al-Anbari serta
ulama lainnya. (Bahkan) Ada yang menyatakan, bahwa mereka pernah
berkata: Apabila kami meriwayatkan (Hadfts) menyangkut perkara halal
ataupun yang haram, maka kami akan berhati-hati. Tapi apabila kami
meriwayatkan Hadfts tentang fadha’il al-a’mal, maka kami
melonggarkannya”. (Majmu’ Fatawi wa Rasa’il, 251)
Akan tetapi, kebolehan ini harus
memenuhi tiga syarat. Pertama, bukan hadits yang sangat dha’if. Karena
itu, tidak boleh mengamalkan hadits yang diriwayatkan oleh orang yang
sudah terkenal sebagai pendusta, fasiq, orang yang sudah terbiasa
berbuat salah dan semacamnya.
Kedua, masih berada di bawah naungan
ketentuan umum serta kaidah-kaidah yang universal. Dengan kata lain,
hadits tersebut tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah agama, tidak
sampai menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.
Ketiga, tidak berkeyakinan bahwa
perbuatan tersebut berdasarkan Hadits Dha’if, namun perbuatan itu
dilaksanakan dalam rangka ihtiyath atau berhati-hati dalam
masalah agama.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa
kita tidak harus dengan keras menolak Hadits Dha’if. Karena, dalam
hal-hal tertentu masih diperkenankan mengamalkannya dengan syarat-syarat
sebagaimana diterangkan di atas.
------------------------------------------------------------
Disalin dari http://peparingbongkar-ajaranwahabi.blogspot.com/2012/01/hukum-mengamalkan-hadist-dhoif.html
Keyword: fadhoilul a'mal, hukum hadits dhoif, pembagian hadits, hadits shahih, hadits hasan, hadits dhoif, hadits maudhu',
Tidak ada komentar:
Posting Komentar