Beliau
adalah pribadi yang tenang, namun memikat perhatian dengan sejuta pesona yang
ada padanya. Pemuda tampan berkulit hitam manis, bersih, dan memiliki tutur
kata yang bagus itu adalah salah satu dari 70 orang utusan dari kalangan Anshar
yang diambil bai’at oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pada
perjanjian ‘Aqabah yang ke dua.
Kecintaan
beliau kepada kitabullah dan sunah
Rasul, dipadu dengan kecerdasan beliau dalam mengolah kebenaran-kebenaran yang
tersembunyi mengantarkan beliau menjadi seorang ahli fikih terkemuka. Bahkan
beliau pun mendapat pujian dari Rasulullah atas keahliannya dalam permasalahan
hukum, “Umatku yang paling tahu akan yang halal dan yang haram adalah Mu’adz
bin Jabal.”
Kecerdasan
dan keberaniannya mengemukakan pendapat hampir sama dengan Umar bin Khattab Radliyallahu ‘Anhu. Sebelum Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengirim
beliau ke Yaman, terjadi percakapan antara beliau dengan Rasulullah.
Rasulullah : Apa yang menjadi pedomanmu untuk mengadili
sesuatu,
wahai
Mu’adz?
Mu’adz : Kitabullah.
Rasulullah : Bagaimana jika kamu tidak menjumpainya
dalam
kitabullah?
Mu’adz : Saya putuskan dengan sunnah Rasul.
Rasulullah : Jika kamu tidak menjumpainya dalam sunnah
Rasul?
Mu’adz : Saya gunakan pikiran saya untuk berijtihad
dan saya tak
akan menyia-nyiakannya.
Wajah
Rasulullah pun berseri-seri dan beliau bersabda, “Segala puji bagi Allah yang
telah memberikan taufik kepada utusan Rasulullah sebagai yang diridlai
Rasulullah.”
Masih
ada beberapa riwayat yang menerangkan tentang kepribadian beliau yang memiliki
otak cerdas, serta kemampuannya dalam memberikan penyuluhan dan memutuskan
persoalan dengan baik. Berikut adalah cerita riwayat dari ‘A’idzullah bin
Abdillah yang terjadi pada suatu hari di awal pemerintahan khalifah Umar bin
Khattab di masjid saat bersama beberapa sahabat:
Maka saya duduk pada suatu majlis yang
dihadiri tiga puluh orang lebih. Masing-masing menyebutkan sebuah hadis yang
mereka terima dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Pada halaqah itu
ada seorang pemuda yang amat tampan, hitam manis warna kulitnya, bersih, manis
tutur katanya, dan termuda di antara mereka. Jika diantara mereka terdapat
keraguan tentang suatu hadis, maka mereka menanyakan kepada pemuda itu yang
mana dia segera memberikan fatwanya dan dia tak akan berbicara kecuali diminta.
Saat majlis itu berakhir, saya dekati pemuda itu dan saya tanyakan siapa
namanya. Ujarnya, “Saya adalah Mu’adz bin Jabal.”
Sang
amirul mukminin Umar bin Khattab pun sering meminta pendapat dari Mu’adz.
Bahkan pada suatu peristiwa, beliau pernah berkata, “Kalau bukan karena Mu’adz
bin Jabal, celakalah saya (Umar).”
Selain
memiliki kepribadian yang telah banyak tersebut di paragraf-paragraf
sebelumnya, Mu’adz juga merupakan seorang yang murah tangan, lapang hati, dan
tinggi budi. Beliau tak akan memberikan apa-apa yang diminta kepadanya kecuali
dengan berlimpah dan hati yang ikhlas.
Di
masa pemerintahan khalifah Abu Bakar As Siddiq, Umar tahu bahwa Mu’adz sudah
menjadi orang yang kaya raya, maka beliau mengusulkan kepada Abu Bakar agar
kekayaan itu dibagi dua. Tanpa menunggu persetujuan dari khalifah Umar segera
menemui Mu’adz di rumahnya dan mengemukakan masalah tersebut.
Usul
beliau ditolak oleh Mu’adz dengan alasan bahwa kekayaannya itu diperolehnya
dengan cara yang halal dan bukan dengan cara berdosa, bahkan ia tak akan
menerima barang yang syubhat. Umar pun berpaling dan pulang.
Malam
harinya Mu’adz mendapat mimpi dan pagi harinya segera beliau menemui Umar.
Sesampainya di rumah Umar, dirangkul dan dipeluknya Umar.
Sambil
berlinang air mata beliau menceritakan mimpinya, “Tadi malam saya bermimpi
masuk kolam yang penuh air, sehingga saya cemas akan tenggelam. Untunglah anda
datang, hai Umar dan menyelamatkan saya.”
Kemudian
mereka bersama-sama menemui Abu Bakar dan Mu’adz meminta Abu Bakar untuk
mengambil setengah dari hartanya.
“Saya
tak akan mengambil hartamu sedikitpun.”, ujar Abu Bakar.
“Sekarang
hartamu telah halal dan menjadi harta yang baik.”, tambah Umar sambil menghadap
Mu’adz.
Andai
Abu Bakar mengetahui bahwa Mu’adz mendapat harta kekayaannya dengan jalan yang
tidak halal, maka tak akan disisakannya sepeserpun olehnya. Namun, Umar pun
juga tak bisa disalahkan dengan melempar dugaan yang bukan-bukan kepada Mu’adz,
sebab saat itu banyak tokoh-tokoh utama yang berlomba-lomba mencapai keutamaan.
Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
bersabda:
“Hai, Mu’adz! Demi Allah, aku sungguh
menyayangimu. Maka, janganlah lupa setiap setelah salat mengucapkan: Yaa Allah,
bantulah aku untuk selalu ingat dan syukur serta beribadah dengan ikhlas
kepada-Mu.”
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam selalu mengajak manusia untuk memahami makna dari
potongan sabdanya, “Yaa Allah, bantulah aku…” Ya, manusia tiadalah memiliki
daya dan pertolongan selain pertolongan dan daya dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Jiwa
kepemimpinan yang baik sudah mengakar kuat pada pribadi Mu’adz bin Jabal. Mu’adz
yang berusia masih muda itu pun diangkat oleh Umar sebagai gubernur militer
atau amir di Syiria menggantikan sahabat karib Mu’adz yang meninggal dunia, Abu
Ubaidah.
Disarikan dari buku "Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah" karya Khalid Muhammad Khalid.
Disarikan dari buku "Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah" karya Khalid Muhammad Khalid.
Keyword: biografi sahabat rasul, biografi muadz bin jabal, kisah sahabat rasul, kisah muadz bin jabal, ahli fikih,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar