[1x03-062012]-Apa Yang Ditinggalkan Nabi Muhammad SAW, Belum Tentu Dilarang
Tidak adanya contoh dari Nabi (At Tarku) tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Diantara kaidah yang sering dijadikan pegangan dan dipakai sebagai tempat perlindungan oleh para pengingkar dan pelontar tuduhan-tuduhan bid'ah adalah kaidah: "Tidak adanya perbuatan Nabi" atau "Sesuatu itu tidak pernah dikerjakan oleh Nabi".
Tidak adanya contoh dari Nabi (At Tarku) tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Diantara kaidah yang sering dijadikan pegangan dan dipakai sebagai tempat perlindungan oleh para pengingkar dan pelontar tuduhan-tuduhan bid'ah adalah kaidah: "Tidak adanya perbuatan Nabi" atau "Sesuatu itu tidak pernah dikerjakan oleh Nabi".
Kaidah itulah yang sering mereka
jadikan hujjah untuk melegitimasi tuduhan-tuduhan bid'ah mereka
terhadap segala perbuatan atau amalan-amalan yang baru (muhdats).
Terhadap semua itu mereka langsung menghukumkannya dengan batil tanpa
mau mengembalikannya kepada kaidah-kaidah atau melakukan penelitian
dan qiyas terhadap hukum-hukum asal. Puncak hujjah mereka adalah: "Kalau perbuatan itu tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam,
tidak juga oleh ulama-ulama salaf, maka perbuatan itu termasuk haram
atau bid'ah dholalah karena dia menyalahi Al Quran dan Sunnah Rasul."
Ucapan seperti ini adalah ucapan yang awalnya haq namun akhirnya batil
atau awalnya sahih namun akhirnya fasid.
Yang haq atau yang sahih dari
ucapan tersebut adalah keadaan Nabi Muhammad Shallalhu 'Alaihi Wasallam atau salafus salih yang tidak
pernah mengerjakannya. Sedangkan yang batil atau fasid adalah
penghukuman mereka perbuatan seperti itu dengan hukum haram, bid'ah
atau fasiq. Yang demikian itu karena keadaan Nabi atau salafus shalih
yang tidak mengerjakan satu perbuatan bukanlah termasuk dalil bahkan
penghukuman dengan berdasarkan kaidah tersebut adalah, penghukuman
tanpa dalil.
Dalil pengharaman terhadap sesuatu haruslah menggunakan nash,
baik itu dari Al Quran maupun Hadits yang melarang atau mengingkari
perbuatan tersebut. Tidak bisa langsung diharamkan hanya karena Nabi
atau salafus salih tidak pernah memperbuatnya. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
فَانْتَهُوا عَنْهُ نَهَاكُمْ وَمَا فَخُذُوهُ الرَّسُولُ آتَاكُمُوَمَا
الْعِقَابِ شَدِيدُ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ وَاتَّقُوا
"Apa saja yang
didatangkan Rasul kepadamu, maka ambillah dia dan apa saja yang kamu
dilarang daripadanya, maka berhentilah (mengerjakannya)." (QS. Al-Hasyr: 7).
Nyata dalam ayat ini bahwa perintah berhenti
mengerjakan sesuatu itu adalah apabila telah tegas larangannya dari
Rasulullah Shallalhu 'Alaihi Wasallam. Dalam ayat tersebut tidak dikatakan, "Dan apa saja
yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasul, maka berhentilah
(mengerjakannya)!." Dalam sebuah hadits riwayat Bukhari Nabi kita bersabda, "Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu, maka lakukanlah
semampumu dan jika aku melarangmu melakukan sesuatu, jauhilah dia!"
Dalam hadits ini Nabi tidak mengatakan, "Dan apabila sesuatu
itu tidak pernah aku kerjakan, maka jauhilah dia!" Dengan demikian,
maka sikap Nabi yang tidak pernah mengerjakan sesuatu tidaklah
otomatis membawa dampak kepada terlarangnya sesuatu itu. Hanyalah
sikap beliau yang seperti itu merupakan indikasi bolehnya meninggalkan
sesuatu itu. Terlarangnya sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh
Nabi haruslah ada dalil lain yang menunjukkannya. Hal ini ditegaskan
oleh Syaikhuna Al 'Allaamah Al Muhaddits As Syaikh Abdullah bin As Shiddiq Al Ghamaari dimana beliau berkata, "Semata-mata karena Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam meninggalkan sesuatu—jika tidak diikuti oleh nash lain yang
menunjukkan bahwa sesuatu yang ditinggalkan itu haram— tidaklah bisa
dijadikan hujjah dalam hal yang demikian."
Pengertian yang dapat dipetik
dari sikap beliau itu adalah bahwa meninggalkan perbuatan tersebut
disyariatkan. Adapun mengatakan bahwa sesuatu itu haram tidaklah dapat
disimpulkan dari semata-mata "sikap beliau yang meninggalkannya
itu". Hanyalah hukum haram itu baru dapat disimpulkan bila telah ada
dalil lain yang memang menunjukkan keharamannya. Dalam kitab
Al Muhalla juz II/254, Ibnu Hazmin menyebutkan hujjah madzhab Maliki dan
Hanafi atas makruhnya salat sunat dua rakaat sebelum maghrib. Hujjah
yang mereka pakai adalah pernyataan Ibrahim An Nakha'i bahwasanya Abu
Bakar, Umar, dan Utsman tidak melakukan salat sunat tersebut. Ibnu
Hazmin membantah hujjah tersebut dengan ucapannya: "Kalau betul
demikian, maka tidaklah terdapat padanya hujjah karena tidak ada
keterangan bahwa Abu Bakar, Umar, dan Utsman melarang melakukannya."
Masalah seperti ini disebut juga dengan At Tarku (meninggalkan). Artinya
bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam atau ulama salafus salih meninggalkan sesuatu yakni
tidak melakukannya dan tidak ada larangan terhadap sesuatu itu, baik
pada hadis maupun atsar. demikian juga tidak ada tahzir (ancaman)
terhadap sesuatu yang ditinggalkan itu yang bisa mengarah kepada
pengharaman atau pemakruhannya. Dan terhadap dalil yang mauhum
(spekulatif) itu ulama mutaakhkhirin yang menjadikannya sebagai hujjah
sehingga tidak jarang mereka menghukumkan sesuatu itu haram atau bid'ah
semata-mata dengan dalih bahwa Rasulullah Shallalhu 'Alaihi Wasallam tidak pernah
mengerjakannya. Abu Sa'id bin Lub ketika mengomentari orang-orang yang
memakruhkan doa sesudah salat mengatakan, "Yang dijadikan sandaran
oleh para pengingkar doa sesudah salat adalah bahwa menetapkannya
sesuai dengan bentuk yang dikenal sekarang tidak pernah dilakukan oleh
ulama salaf. Padahal kalaupun betul anggapan ini, maka sikap ulama yang
tidak mengerjakannya itu tidaklah menjadi faktor timbulnya hukum untuk
sesuatu yang tidak dikerjakan tersebut selain dari hukum boleh
ditinggalkan dan tidak mengapa bila dikerjakan. Adapun mengharamkan
atau memakruhkan sesuatu yang tidak dikerjakan itu termasuk satu
kekeliruan, terlebih lagi dalam satu perkara yang memang ada dasarnya
dalam agama seperti masalah doa itu."
Sebagian ulama berkata, "At Tarku bukanlah termasuk hujjah dalam syariat kita. Dia mengarah
kepada larangan dan tidak juga pengharusan. Siapa yang menghendakinya
sebagai suatu larangan hanya karena ditinggalkan oleh Nabi kita dan dia
berasumsi bahwa itulah hukum yang tepat dan benar, maka dia telah
menyimpang dari manhaj dalil seluruhnya. Bahkan juga telah melakukan
kekeliruan terhadap hukum yang benar dan nyata." Makna dari sikap Nabi
yang meninggalkan suatu perbuatan, jika Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam meninggalkan suatu
perbuatan dan telah datang nash yang sharih dari sahabat bahwa memang
beliau tidak pernah mengerjakannya atau tidak ada nash sama sekali dalam
masalah itu yang menetapkan bahwa Nabi mengerjakannya atau
meninggalkannya, maka untuk hal ini terdapat beberapa kemungkinan dari
segi hukumnya. Yang jelas tidak menunjuk haram. Beberapa segi tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Bahwa Nabi meninggalkannya karena
kebiasaan. Contohnya adalah masalah dhab (biawak). Tersebut dalam
shahih Bukhari bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah dihidangkan biawak panggang.
Beliau sempat menjulurkan tangannya yang mulia untuk mencicipinya lalu
dikatakan kepada beliau: “Itu adalah dhab”. Maka beliaupun tidak jadi
mencicipinya. Ketika ditanya : “Apakah dhab itu haram?”, beliau menjawab
: “Tidak! Akan tetapi dia tidak ada di negeri kaumku”. Hadis ini
menunjukan:
- sikap beliau yang meninggalkan sesuatu walaupun sesudah dihadapkan kepadanya tidaklah otomatis menunjukkan haram,
- jijiknya sesuatu tidak juga menunjukkan keharamannya.
2. Bahwa
Nabi meninggalkan sesuatu karena lupa sebagaimana beliau pernah lupa
sewaktu salat dan meninggalkan sebagian perbuatan salat. Ketika beliau
ditanya, "Apakah telah terjadi sesuatu (perubahan) pada salat?"
Beliau menjawab, "Sesungguhnya saya juga manusia biasa seperti kamu.
Saya lupa sebagaimana juga kamu lupa. Apabila aku lupa, maka ingatkanlah
aku." (HR. Bukhari)
3. Nabi meninggalkan sesuatu karena khawatir
akan diwajibkan kepada ummatnya seperti sikap beliau yang meninggalkan
salat tarawih ketika para sahabat telah pada berkumpul untuk salat
bersama beliau. Beliau bersabda, "Aku khawatir kalau salat tarawih itu
diwajibkan atasmu." (HR. Bukhari)
4. Nabi meninggalkan sesuatu
karena tidak terpikirkan oleh beliau dan tidak juga terlintas di dalam
hatinya seperti pembuatan mimbar untuk berkhutbah. Sebelumnya beliau
berkhutbah di atas batang kurma dan beliau tidak pernah berpikir untuk
membuat mimbar sebagai tempat beliau berdiri sewaktu berkhutbah.
Tatkala sebagian sahabat mengusulkan kepada beliau untuk membuat mimbar
tersebut beliau menyetujui karena memang itu akan lebih membantu
penyampaian khutbah. Dengan demikian, maka sikap beliau yang
meninggalkan pembuatan mimbar itu adalah karena tidak terpikirkan oleh
beliau.
5. Nabi meninggalkan sesuatu karena khawatir berubahnya hati
para sahabat atau sebagian mereka. Contohnya adalah sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam kepada 'Aisyah, "Kalaulah bukan karena dekatnya masa kaummu kepada
kekafiran, maka aku robohkan ka’bah itu dan aku jadikan dia di atas
fondasi yang dibikin oleh Ibrahim 'Alaihis Salam karena sesungguhnya kaum
Quraisy telah memperkecil pembangunannya." (HR. Bukhari Muslim). Sebabnya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam tidak jadi merobohkan ka'bah dan mengulangi
pembangunannya adalah karena memperhatikan hati dan perasaan penduduk
Mekkah yang baru saja masuk Islam. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa tidak ada dalam satu hadis ataupun atsar satu penegasan bahwa
jikalau Nabi meninggalkan sesuatu, maka sesuatu itu menjadi haram
atau makruh.
Makna At Tarku, Bagian-bagian dan Dilalah-nya:
A. Makna At Tarku menurut bahasa yaitu "meninggalkan sesuatu". Sedangkan menurut ulama ushul fiqh, At Tarku berarti "tidak mengerjakan sesuatu yang mampu dilakukan, baik disengaja ataupun tidak —seperti orang yang tidur—, dan juga baik dia itu menampilkan sesuatu yang berlawanan atau tidak".
B. At Tarku ada dua macam:
- Tarku Maqshud. Inilah yang menurut ulama ushul fiqh disebut dengan At Tarkul Wujudi yaitu sesuatu yang ditinggalkan oleh Nabi sesudah dihadapkan kepadanya atau sesuatu yang berhenti dilakukan oleh Nabi sesudah sebelumnya pernah dilakukan. Dengan makna yang lain, bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam meninggalkan satu perbuatan atau hukuman terhadap sesuatu sesudah terjadinya dan sesudah adanya tuntutan untuk melakukan atau mengucapkan pembicaraan tentang Tarku Maqshud ini terdapat dalam kitab-kitab ushul fiqh.
- Tarku Ghairu Maqshud. Inilah yang disebut dengan At Tarkul Adami yaitu "sesuatu yang oleh Nabi tidak dikerjakan atau tidak diucapkan dan beliau tidak mengemukakan hukumnya karena tidak adanya tuntutan terhadap yang demikian itu". Contohnya adalah peristiwa-peristiwa yang muncul sesudah beliau wafat. Bagian inilah yang diperselisihkan oleh ulama.
C.
Dilalah At Tarku. Pada hakkatnya Tarku Ghairu Maqshud tidak pantas
menjadi dalil baik secara syariat maupun secara logika (akal).
Ketidakpantasan menurut syariat dikarenakan oleh nash-nash berikut ini:
1. Firman Allah dalam surat Al Hasyr ayat 7:
فَانْتَهُوا عَنْهُ
نَهَاكُمْ وَمَا فَخُذُوهُ الرَّسُولُ آتَاكُمُوَمَا الْعِقَابِ شَدِيدُ
اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ وَاتَّقُوا
"Apa saja yang didatangkan Rasul kepadamu, maka ambillah dia dan apa saja yang kamu dilarang daripadanya, maka berhentilah (mengerjakannya)."
2. Hadits riwayat
Bukhari dan Muslim, "Janganlah kamu tanyakan padaku tentang apa yang
telah aku tinggalkan untukmu! Binasanya orang-orang sebelum kamu tidak
lain karena banyaknya pertanyaan dan pertentangan mereka terhadap
Nabi-nabi mereka. Apabila aku melarangmu mengerjakan sesuatu, maka
jauhilah dia dan apabila aku memerintahkanmu terhadap sesuatu, maka
kerjakanlah dia sekuat tenagamu!" Begitu juga dengan hadits Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, "Sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah menetapkan beberapa ke-fardlu-an,
maka janganlah kamu melalaikannya dan menetapkan beberapa batasan, maka
janganlah kamu melampauinya dan telah mendiamkan beberapa perkara
sebagai rahmat untukmu –bukan karena lupa — , maka janganlah kamu
membicarakannya." (HR. Daraquthni, Baihaqi dan al-Hakim). Begitu
juga dengan hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, "Yang halal itu adalah apa-apa yang
dihalalkan oleh Allah didalam kitab-Nya. Dan yang haram adalah apa-apa
yang diharamkan oleh Allah didalam kitab-Nya. Sedangkan apa yang
didiamkan (tidak dibicarakan) oleh Allah, maka itu termasuk sesuatu yang
dimaafkan." (HR.Tirmizi).
Beberapa nash di atas tampak dengan jelas bahwa keadaan manusia yang berkaitan dengan mengerjakan dan tidak mengerjakan sesuatu, begitu juga yang berkaitan dengan mengambil dan meninggalkan sesuatu selalu saja bermuara kepada dua kaidah penting yaitu perintah dan larangan. Maka apabila tidak terdapat keterangan dalam satu perbuatan yang sifatnya perintah ataupun larangan, maka tidaklah boleh menghukumkannya dengan haram. Melainkan dia berada dalam satu wilayah antara mubah atau maskut 'anhu. Demikianlah keadaan sesuatu yang didiamkan atau ditinggalkan oleh Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam padahal sesuatu itu telah dikemukakan atau ditampilkan dihadapan beliau yang merupakan sumber informasi dalam perkara halal atau haram bahkan yang juga memberi putusan halal dan haram. Maka bagaimanakah lagi dengan sesuatu yang tidak pernah dikemukakan atau yang sama sekali tidak pernah terjadi dihadapan beliau yang dikenal dengan nama At Tarkul Adami itu? Adapun ketidakpantasan dari segi logika (akal) disebabkan karena sesuatu yang sama sekali tidak pernah maujud itu, maka akal yang sehat yang selalu menimbang perkara dengan timbangan mashlahat, mafsadah, tahsin dan taqbih akan dapat menyimpulkan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta'ala menciptakan bumi ini untuk sekalian hamba-Nya agar mereka dapat mengambil manfaat dengan segala kebaikan yang terkandung di dalamnya demi kehidupan dan penghidupan mereka di dunia. Apabila yang akan terjadi adalah mafsadah (kerusakan), maka syariat Allah ini pasti memberikan larangan dan ancaman melalui para rasul-Nya dalam kitab-kitab yang diturunkan kepada mereka.
Beberapa nash di atas tampak dengan jelas bahwa keadaan manusia yang berkaitan dengan mengerjakan dan tidak mengerjakan sesuatu, begitu juga yang berkaitan dengan mengambil dan meninggalkan sesuatu selalu saja bermuara kepada dua kaidah penting yaitu perintah dan larangan. Maka apabila tidak terdapat keterangan dalam satu perbuatan yang sifatnya perintah ataupun larangan, maka tidaklah boleh menghukumkannya dengan haram. Melainkan dia berada dalam satu wilayah antara mubah atau maskut 'anhu. Demikianlah keadaan sesuatu yang didiamkan atau ditinggalkan oleh Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam padahal sesuatu itu telah dikemukakan atau ditampilkan dihadapan beliau yang merupakan sumber informasi dalam perkara halal atau haram bahkan yang juga memberi putusan halal dan haram. Maka bagaimanakah lagi dengan sesuatu yang tidak pernah dikemukakan atau yang sama sekali tidak pernah terjadi dihadapan beliau yang dikenal dengan nama At Tarkul Adami itu? Adapun ketidakpantasan dari segi logika (akal) disebabkan karena sesuatu yang sama sekali tidak pernah maujud itu, maka akal yang sehat yang selalu menimbang perkara dengan timbangan mashlahat, mafsadah, tahsin dan taqbih akan dapat menyimpulkan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta'ala menciptakan bumi ini untuk sekalian hamba-Nya agar mereka dapat mengambil manfaat dengan segala kebaikan yang terkandung di dalamnya demi kehidupan dan penghidupan mereka di dunia. Apabila yang akan terjadi adalah mafsadah (kerusakan), maka syariat Allah ini pasti memberikan larangan dan ancaman melalui para rasul-Nya dalam kitab-kitab yang diturunkan kepada mereka.
Dikutip dengan perubahan seperlunya tanpa mengurangi maksud dan arti, dari http://peparingbongkar-ajaranwahabi.blogspot.com/2011/10/apa-yang-ditinggalkan-nabi-muhammad-saw.html
Keyword: at tarku, ushul fikih, ushul fiqh, ushul fiqih, bid'ah,
Keyword: at tarku, ushul fikih, ushul fiqh, ushul fiqih, bid'ah,
Setahu saya, ayat yang dibahas di atas berkenaan dengan pembagian harta rampasan perang. Jadi tidakkah itu merupakan konteks ayat? Artinya hanya berlaku untuk konteks tersebut? Ini pendapat saya yang jahil. Mohon bimbingan.
BalasHapusMohon ada jawaban untuk pertanyaan di atas, agar kami yang tadinya yakin dengan artikel ini, menjadi ragu kembali
BalasHapus