Senin, 23 Juli 2012

Kiai Syamsuri Brabo dan Kitabnya


[1x04-072012]-Kiai Syamsuri Brabo dan Kitabnya

Tahun 1960, lantai masjid Al-Muhajirin di Pesantren Sirojuth Tholibin, Brabo, Tanggung Harjo, Grobogan, Jawa Tengah, rusak berat. Pengasuh pesantren, Kiai Syamsuri, risau karena masjid tersebut pusat syiar Islam. Di sanalah santri dan warga masyarakat berkumpul, untuk sembahyang, ngaji, rapat desa dan sebagainya.
Suatu hari, sang kiai mengutarakan kerisauannya di depan santri dan masyarakat. Intinya, beliau menyampaikan bahwa lantai masjid harus segera diperbaiki dan beliau ingin kayu milik Masjid Desa Jragung Demak lama menjadi pengganti lantai masjidnya. Dana terkumpul dari iuran santri dan jariyah warga Desa Brabo. Tetapi belum cukup.
Akhirnya Kiai Syamsuri ambil “jalan pintas”, yakni menjual kitab Syarah Bukhari setebal 12 jilid kepada Anwar,  kala itu pemilik toko Toha Putera di Semarang. Namun, sang kiai berkata kepada Anwar bahwa kitab ini jangan dijual dulu kepada orang lain, karena suatu saat, dirinya akan datang membeli kembali Syarah Bukhari kesayangannya ini.
Beberapa waktu kemudian, Anwar dikunjungi Kiai Hamid Kajoran Magelang. Seperti biasanya rumah pemilik toko kitab, ada kitab-kitab aneka macam yang tertata rapi. Kiai Hamid pun biasa melihatnya. Tetapi hari itu, mata Kiai Hamid tampak terpesona dengan setumpuk kitab teronggok. Tak lain, kitab itu Syarah Bukhari milik Anwar yang dibeli dari Kiai Syamsuri. Kiai Hamid tambah tertarik dengan kitab itu, karena setelah dibuka semuanya telah diberi makna dengan rapi dan bagus.
“Kang Anwar, buatku saja ya kitab ini,” begitu kira-kira Kiai Hamid meminta. Karena yang meminta Kiai Hamid, maka kitab tadi diberikan secara cuma-cuma.
Lain waktu, Kiai Hamid Kajoran dikunjungi kiai muda bernama A. Baidhowi. Kedua kiai ini akrab, hangat, dan saling menghormati. Karena lama tidak berjumpa, Kiai Hamid meminta tamunya menginap.
Dalam perbincangannya, Kiai Hamid cerita, “Gus Dhowi, aku punya kitab.”
“Kitab napa, Kiai.” 
“Syarah Bukhari. Aku minta dari Toha Putra. Tetapi, kitab itu akan saya hadiahkan untuk Sampeyan.”
“Waduh, matur suwun, Kiai.”
Tetapi Kiai Hamid tidak memberi secara cuma-cuma. Ia meminta mahar dari Kiai Baidhowi. Malamnya, tuan rumah mempersilakan sang tamu untuk istirahat di kamar pribadinya, di lantai dua. Namun penghormatan Kiai Hamid malah bikin tamunya tidak bisa tidur. Kiai Baidhowi merasa rikuh, di kamar bawah ada kiai yang dihormatinya. Paginya, Kiai Hamid mengutarakan mahar keinginannya. Kiai Baidhowi, demi kitab yang disenanginya, menyanggupi mahar.
“Mahar pertama, doakanlah semua anak keturunanku suka dengan tamu,” kata Kiai Hamid mulai menyebutkan keinginannya. “Mahar kedua, doakan semua anak cucuku bisa haji,” lanjutnya. “Mahar terakhir,” kata Kiai Hamid, “doakan anak cucuku suka mengaji.”
Dengan rikuh dan keterkejutan yang masih tersimpan, Kiai Baidhowi yang masih muda berdoa di hadapan Kiai Hamid yang lebih sepuh dan sangat dihormatinya itu. Setelah semuannya selesai, sang tamu pamitan. Kemudian, Kiai Baqoh Arifin, putra Kiai Hamid, mengantarkan tamunya sampai terminal Magelang, atas perintah ayahandanya.
Diceritakan, dalam perjalanan kitab Syarah Bukhari sempat jatuh. Sesampainya di kediamannya, Pesantren Sirojuth-Tholibin, Brabo, Kiai Baidhowi langsung menemui ayahandanya, Kiai Syamsuri, memberikan kitab yang dikasih Kiai Hamid. Kiai Syamsuri kaget, ternyata kitab itu adalah kitab yang dulu dijual kepada Anwar. Sambil menangis, ia langsung memeluk kitab tadi. Lalu memeluk Kiai Badhowi, yang tak lain adalah putranya sendiri.
Sang anak bingung, “Wonten napa, Pak?”
***
Kiai Syamsuri lahir pada tanggal 21 April 1906, di Desa Tlogogedong Kecamatan Karangawen, Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Bapaknya bernama KH. Dahlan bin Nolo Khoiron, imam dan pemuka agama di desanya. Kakek Syamsuri adalah lurah  di Sambak Wonosekar, Demak.
Kehadiran Syamsuri muda di Brabo bermula dari permintaan dua tokoh agama di Brabo Mbah Idris dan Mbah Hasan Hudori, kepada Kiai Syarqowi Tanggung Tanggungharjo. Keduanya meminta kepada Kyai Sarqowi agar “menanamkan” santrinya di desa Brabo. Kyai Syarqowi menunjuk santrinya yang bernama Syamsuri, yang tak lain menantunya, untuk mengabdi dan mengembangkan Islam di Brabo.
Kiai Syamsuri berdakwa dengan pelan-pelan. Pengajian bandongan kecil-kecilan digelar di serambi masjid. Sembari mengetahui seluk beluk warga Brabo, ia berkunjung ke rumah warga. Sifat sabar dan keuletannya, Kiai Syamsuri berhasil mendapat simpati masyarakat Brabo. Akhirnya, jangkauan pengajiannya hingga ke luar desa, dan jama’ah pengajian di serambi masjid makin ramai.
Melihat makin bertambahnya santri, masyarakat mengusulkan untuk mendirikan pesantren. Berdirilah pondok pesantren, dengan nama Sirojuth Tholibin, tahun 1941. Nama pesantren, selain bermakna lentera penerang para penuntut ilmu, juga dalam rangka “menempelkan kitab” bernama Sirojuth Tholibin karya Syekh Muhammad Ihsan Jampes Kediri. Istilahnya, tabarukan. Kitab Sirajuth Thalibin adalah syarah atas kitab Minhajul ‘Abidin karya Imam Al-Ghozali.
Syamsuri suka belajar agama.  Syamsuri kecil sudah ngaji akidah, fiqih, Al-Qur’an. Guru pertamanya ayahnya sendiri, KH Dahlan. Selanjutnya, ia belajar kepada KH Abdur Rohman di Tlogogedong Demak Jawa Tengah. Ia juga belajar kepada Kiai Irsyad Gablog dan nyantri di Mangkang serta KH Hasyim Asy’ari di Tebuireng.
Syamsuri muda pernah belajar ngaji Shahih Bukhari dan Shahih Muslim kepada Kiai Hasan Asy’ari di Poncol Bringin Salatiga. Tempat lain yang pernah disinggahi Syamsuri untuk belajar adalah Pesantren Tegalsari, Bringin Salatiga, asuhan Kiai Tholhah.
Di antara ulama yang seangkatan dengan Kiai Syamsuri adalah KH. Muslih Mranggen Demak. Bahkan, keduanya sama-sama alumni Pondok Tanggung, dibawah asuhan Kiai Syarqowi. Ada sebuah kisah tentang Kiai Syamsuri dan Kiai Muslih. Kiai Muslih pernah meminjam kitab Shahih Bukhari kepada Kiai Syamsuri. Lalu, Kiai Syamsuri meminjamkan kitab tersebut dengan mengutus muridnya, Shobari, untuk membawanya ke Mranggen. Konon Shobari membawa kitab tadi dengan dipikul memakai kayu.
Tokoh lain yang seangkatan adalah KH. Arwani Kudus (hubungan dalam thariqoh), KH. Shodaqoh, ayah dari KH. Haris Shodaqoh, pengasuh PP. Al Itqon Gugen Semarang, KH. Nawawi Bringin Salatiga, dan KH. Ihsan Brumbung Mranggen Demak.
Dalam hal tarekat, Kiai Syamsuri mengambil sanad dari Kiai Syarqowi, tepatnya tarekat Naqsabandiyah Kholidiyyah. Namun ia  tidak diangkat menjadi mursyid, meski kadang ditunjuk sebagai badal. Sebab, Kiai Syamsuri diarahkan untuk lebih berkonsentrasi pada pendidikan santri di pesantren.
Kiai Syamsuri berpulang ke Rahmatullah, ba’da maghrib, malam Rabu, 23 Shofar, bertepatan dengan 4 Oktober 1988. (Ditulis ulang oleh Hamzah Sahal dari dan atas seizin www.sirojuth-tholibin.net)

Sumber:

Saya ubah sedikit untuk kesempurnaan tata bahasa sesuai EYD, semoga tidak mengubah maksud sedikitpun. Jika masih ada kesalahan ejaan, mohon hubungi saya.

Keyword: biografi ulama Indonesia, kisah ulama Indonesia, biografi kyai, biografi kiai, kisah kiai, kisah kyai, pondok pesantren sirojuth tholibin, pondok pesantren brabo, kisah kiai nu, kisah ulama nu, pengasuh pesantren sirojuth tholibin, pengasuh pesantren brabo, pondok pesantren grobogan,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar