Jumat, 08 Juni 2012

Apa Yang Ditinggalkan Nabi Muhammad SAW, Belum Tentu Dilarang

[1x03-062012]-Apa Yang Ditinggalkan Nabi Muhammad SAW, Belum Tentu Dilarang

Tidak adanya contoh dari Nabi (At Tarku) tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Diantara kaidah yang sering dijadikan pegangan dan dipakai sebagai tempat perlindungan oleh para pengingkar dan pelontar tuduhan-tuduhan bid'ah adalah kaidah: "Tidak adanya perbuatan Nabi" atau "Sesuatu itu tidak pernah dikerjakan oleh Nabi".
Kaidah itulah yang sering mereka jadikan hujjah untuk melegitimasi tuduhan-tuduhan bid'ah mereka terhadap segala perbuatan atau amalan-amalan yang baru (muhdats). Terhadap semua itu mereka langsung menghukumkannya dengan batil tanpa mau mengembalikannya kepada kaidah-kaidah atau melakukan penelitian dan qiyas terhadap hukum-hukum asal. Puncak hujjah mereka adalah: "Kalau perbuatan itu tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, tidak juga oleh ulama-ulama salaf, maka perbuatan itu termasuk haram atau bid'ah dholalah karena dia menyalahi Al Quran dan Sunnah Rasul." Ucapan seperti ini adalah ucapan yang awalnya haq namun akhirnya batil atau awalnya sahih namun akhirnya fasid.
Yang haq atau yang sahih dari ucapan tersebut adalah keadaan Nabi Muhammad Shallalhu 'Alaihi Wasallam atau salafus salih yang tidak pernah mengerjakannya. Sedangkan yang batil atau fasid adalah penghukuman mereka perbuatan seperti itu dengan hukum haram, bid'ah atau fasiq. Yang demikian itu karena keadaan Nabi atau salafus shalih yang tidak mengerjakan satu perbuatan bukanlah termasuk dalil bahkan penghukuman dengan berdasarkan kaidah tersebut adalah, penghukuman tanpa dalil.
Dalil pengharaman terhadap sesuatu haruslah menggunakan nash, baik itu dari Al Quran maupun Hadits yang melarang atau mengingkari perbuatan tersebut. Tidak bisa langsung diharamkan hanya karena Nabi atau salafus salih tidak pernah memperbuatnya. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
فَانْتَهُوا عَنْهُ نَهَاكُمْ وَمَا فَخُذُوهُ الرَّسُولُ آتَاكُمُوَمَا الْعِقَابِ شَدِيدُ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ وَاتَّقُوا
 
"Apa saja yang didatangkan Rasul kepadamu, maka ambillah dia dan apa saja yang kamu dilarang daripadanya, maka berhentilah (mengerjakannya)." (QS. Al-Hasyr: 7).
Nyata dalam ayat ini bahwa perintah berhenti mengerjakan sesuatu itu adalah apabila telah tegas larangannya dari Rasulullah Shallalhu 'Alaihi Wasallam. Dalam ayat tersebut tidak dikatakan, "Dan apa saja yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasul, maka berhentilah (mengerjakannya)!." Dalam sebuah hadits riwayat Bukhari Nabi kita bersabda, "Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu, maka lakukanlah semampumu dan jika aku melarangmu melakukan sesuatu, jauhilah dia!" Dalam hadits ini Nabi tidak mengatakan, "Dan apabila sesuatu itu tidak pernah aku kerjakan, maka jauhilah dia!" Dengan demikian, maka sikap Nabi yang tidak pernah mengerjakan sesuatu tidaklah otomatis membawa dampak kepada terlarangnya sesuatu itu. Hanyalah sikap beliau yang seperti itu merupakan indikasi bolehnya meninggalkan sesuatu itu. Terlarangnya sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi haruslah ada dalil lain yang menunjukkannya. Hal ini ditegaskan oleh Syaikhuna Al 'Allaamah Al Muhaddits As Syaikh Abdullah bin As Shiddiq Al Ghamaari dimana beliau berkata, "Semata-mata karena Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam  meninggalkan sesuatu—jika tidak diikuti oleh nash lain yang menunjukkan bahwa sesuatu yang ditinggalkan itu haram— tidaklah bisa dijadikan hujjah dalam hal yang demikian."
Pengertian yang dapat dipetik dari sikap beliau itu adalah bahwa meninggalkan perbuatan tersebut disyariatkan. Adapun mengatakan bahwa sesuatu itu haram tidaklah dapat disimpulkan dari semata-mata "sikap beliau yang meninggalkannya itu". Hanyalah hukum haram itu baru dapat disimpulkan bila telah ada dalil lain yang memang menunjukkan keharamannya. Dalam kitab Al Muhalla juz II/254, Ibnu Hazmin menyebutkan hujjah madzhab Maliki dan Hanafi atas makruhnya salat sunat dua rakaat sebelum maghrib. Hujjah yang mereka pakai adalah pernyataan Ibrahim An Nakha'i bahwasanya Abu Bakar, Umar, dan Utsman tidak melakukan salat sunat tersebut. Ibnu Hazmin membantah hujjah tersebut dengan ucapannya: "Kalau betul demikian, maka tidaklah terdapat padanya hujjah karena tidak ada keterangan bahwa Abu Bakar, Umar, dan Utsman melarang melakukannya." Masalah seperti ini disebut juga dengan At Tarku (meninggalkan). Artinya bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam atau ulama salafus salih meninggalkan sesuatu yakni tidak melakukannya dan tidak ada larangan terhadap sesuatu itu, baik pada hadis maupun atsar. demikian juga tidak ada tahzir (ancaman) terhadap sesuatu yang ditinggalkan itu yang bisa mengarah kepada pengharaman atau pemakruhannya. Dan terhadap dalil yang mauhum (spekulatif) itu ulama mutaakhkhirin yang menjadikannya sebagai hujjah sehingga tidak jarang mereka menghukumkan sesuatu itu haram atau bid'ah semata-mata dengan dalih bahwa Rasulullah Shallalhu 'Alaihi Wasallam tidak pernah mengerjakannya. Abu Sa'id bin Lub ketika mengomentari orang-orang yang memakruhkan doa sesudah salat mengatakan, "Yang dijadikan sandaran oleh para pengingkar doa sesudah salat adalah bahwa menetapkannya sesuai dengan bentuk yang dikenal sekarang tidak pernah dilakukan oleh ulama salaf. Padahal kalaupun betul anggapan ini, maka sikap ulama yang tidak mengerjakannya itu tidaklah menjadi faktor timbulnya hukum untuk sesuatu yang tidak dikerjakan tersebut selain dari hukum boleh ditinggalkan dan tidak mengapa bila dikerjakan. Adapun mengharamkan atau memakruhkan sesuatu yang tidak dikerjakan itu termasuk satu kekeliruan, terlebih lagi dalam satu perkara yang memang ada dasarnya dalam agama seperti masalah doa itu."
Sebagian ulama berkata, "At Tarku bukanlah termasuk hujjah dalam syariat kita. Dia mengarah kepada larangan dan tidak juga pengharusan. Siapa yang menghendakinya sebagai suatu larangan hanya karena ditinggalkan oleh Nabi kita dan dia berasumsi bahwa itulah hukum yang tepat dan benar, maka dia telah menyimpang dari manhaj dalil seluruhnya. Bahkan juga telah melakukan kekeliruan terhadap hukum yang benar dan nyata." Makna dari sikap Nabi yang meninggalkan suatu perbuatan, jika Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam meninggalkan suatu perbuatan dan telah datang nash yang sharih dari sahabat bahwa memang beliau tidak pernah mengerjakannya atau tidak ada nash sama sekali dalam masalah itu yang menetapkan bahwa Nabi mengerjakannya atau meninggalkannya, maka untuk hal ini terdapat beberapa kemungkinan dari segi hukumnya. Yang jelas tidak menunjuk haram. Beberapa segi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Bahwa Nabi meninggalkannya karena kebiasaan. Contohnya adalah masalah dhab (biawak). Tersebut dalam shahih Bukhari bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah dihidangkan biawak panggang. Beliau sempat menjulurkan tangannya yang mulia untuk mencicipinya lalu dikatakan kepada beliau: “Itu adalah dhab”. Maka beliaupun tidak jadi mencicipinya. Ketika ditanya : “Apakah dhab itu haram?”, beliau menjawab : “Tidak! Akan tetapi dia tidak ada di negeri kaumku”. Hadis ini menunjukan:
  • sikap beliau yang meninggalkan sesuatu walaupun sesudah dihadapkan kepadanya tidaklah otomatis menunjukkan haram,
  • jijiknya sesuatu tidak juga menunjukkan keharamannya.
2. Bahwa Nabi meninggalkan sesuatu karena lupa sebagaimana beliau pernah lupa sewaktu salat dan meninggalkan sebagian perbuatan salat. Ketika beliau ditanya, "Apakah telah terjadi sesuatu (perubahan) pada salat?" Beliau menjawab, "Sesungguhnya saya juga manusia biasa seperti kamu. Saya lupa sebagaimana juga kamu lupa. Apabila aku lupa, maka ingatkanlah aku." (HR. Bukhari)
3. Nabi meninggalkan sesuatu karena khawatir akan diwajibkan kepada ummatnya seperti sikap beliau yang meninggalkan salat tarawih ketika para sahabat telah pada berkumpul untuk salat bersama beliau. Beliau bersabda, "Aku khawatir kalau salat tarawih itu diwajibkan atasmu." (HR. Bukhari)
4. Nabi meninggalkan sesuatu karena tidak terpikirkan oleh beliau dan tidak juga terlintas di dalam hatinya seperti pembuatan mimbar untuk berkhutbah. Sebelumnya beliau berkhutbah di atas batang kurma dan beliau tidak pernah berpikir untuk membuat mimbar sebagai tempat beliau berdiri sewaktu berkhutbah. Tatkala sebagian sahabat mengusulkan kepada beliau untuk membuat mimbar tersebut beliau menyetujui karena memang itu akan lebih membantu penyampaian khutbah. Dengan demikian, maka sikap beliau yang meninggalkan pembuatan mimbar itu adalah karena tidak terpikirkan oleh beliau.
5. Nabi meninggalkan sesuatu karena khawatir berubahnya hati para sahabat atau sebagian mereka. Contohnya adalah sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam kepada 'Aisyah, "Kalaulah bukan karena dekatnya masa kaummu kepada kekafiran, maka aku robohkan ka’bah itu dan aku jadikan dia di atas fondasi yang dibikin oleh Ibrahim 'Alaihis Salam karena sesungguhnya kaum Quraisy telah memperkecil pembangunannya." (HR. Bukhari Muslim). Sebabnya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam tidak jadi merobohkan ka'bah dan mengulangi pembangunannya adalah karena memperhatikan hati dan perasaan penduduk Mekkah yang baru saja masuk Islam. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada dalam satu hadis ataupun atsar satu penegasan bahwa jikalau Nabi meninggalkan sesuatu, maka sesuatu itu menjadi haram atau makruh.
Makna At Tarku, Bagian-bagian dan Dilalah-nya:

A. Makna At Tarku menurut bahasa yaitu "meninggalkan sesuatu". Sedangkan menurut ulama ushul fiqh, At Tarku berarti "tidak mengerjakan sesuatu yang mampu dilakukan, baik disengaja ataupun tidak —seperti orang yang tidur—, dan juga baik dia itu menampilkan sesuatu yang berlawanan atau tidak".

B. At Tarku ada dua macam:
  • Tarku Maqshud. Inilah yang menurut ulama ushul fiqh disebut dengan At Tarkul Wujudi yaitu sesuatu yang ditinggalkan oleh Nabi sesudah dihadapkan kepadanya atau sesuatu yang berhenti dilakukan oleh Nabi sesudah sebelumnya pernah dilakukan. Dengan makna yang lain, bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam meninggalkan satu perbuatan atau hukuman terhadap sesuatu sesudah terjadinya dan sesudah adanya tuntutan untuk melakukan atau mengucapkan pembicaraan tentang Tarku Maqshud ini terdapat dalam kitab-kitab ushul fiqh.
  • Tarku Ghairu Maqshud. Inilah yang disebut dengan At Tarkul Adami yaitu "sesuatu yang oleh Nabi tidak dikerjakan atau tidak diucapkan dan beliau tidak mengemukakan hukumnya karena tidak adanya tuntutan terhadap yang demikian itu". Contohnya adalah peristiwa-peristiwa yang muncul sesudah beliau wafat. Bagian inilah yang diperselisihkan oleh ulama.
C. Dilalah At Tarku. Pada hakkatnya Tarku Ghairu Maqshud tidak pantas menjadi dalil baik secara syariat maupun secara logika (akal). Ketidakpantasan menurut syariat dikarenakan oleh nash-nash berikut ini:
1. Firman Allah dalam surat Al Hasyr ayat 7:
فَانْتَهُوا عَنْهُ نَهَاكُمْ وَمَا فَخُذُوهُ الرَّسُولُ آتَاكُمُوَمَا الْعِقَابِ شَدِيدُ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ وَاتَّقُوا

"Apa saja yang didatangkan Rasul kepadamu, maka ambillah dia dan apa saja yang kamu dilarang daripadanya, maka berhentilah (mengerjakannya)."

2. Hadits riwayat Bukhari dan Muslim, "Janganlah kamu tanyakan padaku tentang apa yang telah aku tinggalkan untukmu! Binasanya orang-orang sebelum kamu tidak lain karena banyaknya pertanyaan dan pertentangan mereka terhadap Nabi-nabi mereka. Apabila aku melarangmu mengerjakan sesuatu, maka jauhilah dia dan apabila aku memerintahkanmu terhadap sesuatu, maka kerjakanlah dia sekuat tenagamu!" Begitu juga dengan hadits Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, "Sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah menetapkan beberapa ke-fardlu-an, maka janganlah kamu melalaikannya dan menetapkan beberapa batasan, maka janganlah kamu melampauinya dan telah mendiamkan beberapa perkara sebagai rahmat untukmu –bukan karena lupa — , maka janganlah kamu membicarakannya." (HR. Daraquthni, Baihaqi dan al-Hakim). Begitu juga dengan hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, "Yang halal itu adalah apa-apa yang dihalalkan oleh Allah didalam kitab-Nya. Dan yang haram adalah apa-apa yang diharamkan oleh Allah didalam kitab-Nya. Sedangkan apa yang didiamkan (tidak dibicarakan) oleh Allah, maka itu termasuk sesuatu yang dimaafkan." (HR.Tirmizi).

Beberapa nash di atas tampak dengan jelas bahwa keadaan manusia yang berkaitan dengan mengerjakan dan tidak mengerjakan sesuatu, begitu juga yang berkaitan dengan mengambil dan meninggalkan sesuatu selalu saja bermuara kepada dua kaidah penting yaitu perintah dan larangan. Maka apabila tidak terdapat keterangan dalam satu perbuatan yang sifatnya perintah ataupun larangan, maka tidaklah boleh menghukumkannya dengan haram. Melainkan dia berada dalam satu wilayah antara mubah atau maskut 'anhu. Demikianlah keadaan sesuatu yang didiamkan atau ditinggalkan oleh Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam padahal sesuatu itu telah dikemukakan atau ditampilkan dihadapan beliau yang merupakan sumber informasi dalam perkara halal atau haram bahkan yang juga memberi putusan halal dan haram. Maka bagaimanakah lagi dengan sesuatu yang tidak pernah dikemukakan atau yang sama sekali tidak pernah terjadi dihadapan beliau yang dikenal dengan nama At Tarkul Adami itu? Adapun ketidakpantasan dari segi logika (akal) disebabkan karena sesuatu yang sama sekali tidak pernah maujud itu, maka akal yang sehat yang selalu menimbang perkara dengan timbangan mashlahat, mafsadah, tahsin dan taqbih akan dapat menyimpulkan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta'ala menciptakan bumi ini untuk sekalian hamba-Nya agar mereka dapat mengambil manfaat dengan segala kebaikan yang terkandung di dalamnya demi kehidupan dan penghidupan mereka di dunia. Apabila yang akan terjadi adalah mafsadah (kerusakan), maka syariat Allah ini pasti memberikan larangan dan ancaman melalui para rasul-Nya dalam kitab-kitab yang diturunkan kepada mereka.


Dikutip dengan perubahan seperlunya tanpa mengurangi maksud dan arti, dari http://peparingbongkar-ajaranwahabi.blogspot.com/2011/10/apa-yang-ditinggalkan-nabi-muhammad-saw.html 

Keyword:  at tarku, ushul fikih, ushul fiqh, ushul fiqih, bid'ah,

2 komentar:

  1. Setahu saya, ayat yang dibahas di atas berkenaan dengan pembagian harta rampasan perang. Jadi tidakkah itu merupakan konteks ayat? Artinya hanya berlaku untuk konteks tersebut? Ini pendapat saya yang jahil. Mohon bimbingan.

    BalasHapus
  2. Mohon ada jawaban untuk pertanyaan di atas, agar kami yang tadinya yakin dengan artikel ini, menjadi ragu kembali

    BalasHapus