Rabu, 05 September 2012

Mu’adz bin Jabal – Sahabat Rasulullah Ahli Fikih

[1x01-092012]-Mu’adz bin Jabal – Sahabat Rasulullah Ahli Fikih

Beliau adalah pribadi yang tenang, namun memikat perhatian dengan sejuta pesona yang ada padanya. Pemuda tampan berkulit hitam manis, bersih, dan memiliki tutur kata yang bagus itu adalah salah satu dari 70 orang utusan dari kalangan Anshar yang diambil bai’at oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pada perjanjian ‘Aqabah yang ke dua.
Kecintaan beliau kepada kitabullah dan sunah Rasul, dipadu dengan kecerdasan beliau dalam mengolah kebenaran-kebenaran yang tersembunyi mengantarkan beliau menjadi seorang ahli fikih terkemuka. Bahkan beliau pun mendapat pujian dari Rasulullah atas keahliannya dalam permasalahan hukum, “Umatku yang paling tahu akan yang halal dan yang haram adalah Mu’adz bin Jabal.”

Kecerdasan dan keberaniannya mengemukakan pendapat hampir sama dengan Umar bin Khattab Radliyallahu ‘Anhu. Sebelum Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengirim beliau ke Yaman, terjadi percakapan antara beliau dengan Rasulullah.
Rasulullah        : Apa yang menjadi pedomanmu untuk mengadili sesuatu,
wahai Mu’adz?
Mu’adz             : Kitabullah.
Rasulullah        : Bagaimana jika kamu tidak menjumpainya dalam
kitabullah?
Mu’adz             : Saya putuskan dengan sunnah Rasul.
Rasulullah        : Jika kamu tidak menjumpainya dalam sunnah Rasul?
Mu’adz             : Saya gunakan pikiran saya untuk berijtihad dan saya tak
akan menyia-nyiakannya.
Wajah Rasulullah pun berseri-seri dan beliau bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik kepada utusan Rasulullah sebagai yang diridlai Rasulullah.”
Masih ada beberapa riwayat yang menerangkan tentang kepribadian beliau yang memiliki otak cerdas, serta kemampuannya dalam memberikan penyuluhan dan memutuskan persoalan dengan baik. Berikut adalah cerita riwayat dari ‘A’idzullah bin Abdillah yang terjadi pada suatu hari di awal pemerintahan khalifah Umar bin Khattab di masjid saat bersama beberapa sahabat:
Maka saya duduk pada suatu majlis yang dihadiri tiga puluh orang lebih. Masing-masing menyebutkan sebuah hadis yang mereka terima dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Pada halaqah itu ada seorang pemuda yang amat tampan, hitam manis warna kulitnya, bersih, manis tutur katanya, dan termuda di antara mereka. Jika diantara mereka terdapat keraguan tentang suatu hadis, maka mereka menanyakan kepada pemuda itu yang mana dia segera memberikan fatwanya dan dia tak akan berbicara kecuali diminta. Saat majlis itu berakhir, saya dekati pemuda itu dan saya tanyakan siapa namanya. Ujarnya, “Saya adalah Mu’adz bin Jabal.”
Sang amirul mukminin Umar bin Khattab pun sering meminta pendapat dari Mu’adz. Bahkan pada suatu peristiwa, beliau pernah berkata, “Kalau bukan karena Mu’adz bin Jabal, celakalah saya (Umar).”
Selain memiliki kepribadian yang telah banyak tersebut di paragraf-paragraf sebelumnya, Mu’adz juga merupakan seorang yang murah tangan, lapang hati, dan tinggi budi. Beliau tak akan memberikan apa-apa yang diminta kepadanya kecuali dengan berlimpah dan hati yang ikhlas.
Di masa pemerintahan khalifah Abu Bakar As Siddiq, Umar tahu bahwa Mu’adz sudah menjadi orang yang kaya raya, maka beliau mengusulkan kepada Abu Bakar agar kekayaan itu dibagi dua. Tanpa menunggu persetujuan dari khalifah Umar segera menemui Mu’adz di rumahnya dan mengemukakan masalah tersebut.
Usul beliau ditolak oleh Mu’adz dengan alasan bahwa kekayaannya itu diperolehnya dengan cara yang halal dan bukan dengan cara berdosa, bahkan ia tak akan menerima barang yang syubhat. Umar pun berpaling dan pulang.
Malam harinya Mu’adz mendapat mimpi dan pagi harinya segera beliau menemui Umar. Sesampainya di rumah Umar, dirangkul dan dipeluknya Umar.
Sambil berlinang air mata beliau menceritakan mimpinya, “Tadi malam saya bermimpi masuk kolam yang penuh air, sehingga saya cemas akan tenggelam. Untunglah anda datang, hai Umar dan menyelamatkan saya.”
Kemudian mereka bersama-sama menemui Abu Bakar dan Mu’adz meminta Abu Bakar untuk mengambil setengah dari hartanya.
“Saya tak akan mengambil hartamu sedikitpun.”, ujar Abu Bakar.
“Sekarang hartamu telah halal dan menjadi harta yang baik.”, tambah Umar sambil menghadap Mu’adz.
Andai Abu Bakar mengetahui bahwa Mu’adz mendapat harta kekayaannya dengan jalan yang tidak halal, maka tak akan disisakannya sepeserpun olehnya. Namun, Umar pun juga tak bisa disalahkan dengan melempar dugaan yang bukan-bukan kepada Mu’adz, sebab saat itu banyak tokoh-tokoh utama yang berlomba-lomba mencapai keutamaan.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Hai, Mu’adz! Demi Allah, aku sungguh menyayangimu. Maka, janganlah lupa setiap setelah salat mengucapkan: Yaa Allah, bantulah aku untuk selalu ingat dan syukur serta beribadah dengan ikhlas kepada-Mu.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam selalu mengajak manusia untuk memahami makna dari potongan sabdanya, “Yaa Allah, bantulah aku…” Ya, manusia tiadalah memiliki daya dan pertolongan selain pertolongan dan daya dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Jiwa kepemimpinan yang baik sudah mengakar kuat pada pribadi Mu’adz bin Jabal. Mu’adz yang berusia masih muda itu pun diangkat oleh Umar sebagai gubernur militer atau amir di Syiria menggantikan sahabat karib Mu’adz yang meninggal dunia, Abu Ubaidah.

Disarikan dari buku "Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah" karya Khalid Muhammad Khalid.

Keyword: biografi sahabat rasul, biografi muadz bin jabal, kisah sahabat rasul, kisah muadz bin jabal, ahli fikih,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar